Pintar Pelajaran Majas, Gaya Bahasa, Pengertian, Contoh, Jenis / Macam-Macam, Artikel, Makalah
Artikel dan Makalah ihwal Majas, Gaya Bahasa, Pengertian, Contoh, Jenis / Macam-macam - Sejak lama, persoalan Majas telah banyak dibicarakan para pakar, baik dari bidang linguistik maupun sastra, namun sepertinya belum ada kejelasan ihwal hal ini. Penelitian yang dilakukan Zaimar (2002) merupakan suatu perjuangan untuk menjelaskan pembentukan majas dari sudut pandang semantik. Dalam goresan pena ini tidak dibahas semua majas, lantaran terlalu banyak yang perlu diteliti. Namun, ada hal-hal yang selama ini belum disinggung, dalam penelitian ini dibicarakan. Pada umumnya, pembicaraan ihwal hal ini hanya melibatkan persoalan makna, namun di sini hubungan antara penanda, petanda dan contoh pun disoroti.
1. Pendahuluan
Majas sering dianggap sebagai sinonim dari gaya bahasa, namun bahwasanya majas termasuk dalam gaya bahasa. Sebelum masuk pada pembahasan ihwal majas, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian ihwal gaya bahasa. Gaya bahasa memiliki cakupan yang sangat luas. Menurut klarifikasi Harimurti Kridalaksana (Kamus Linguistik, 1982), gaya bahasa (style) memiliki tiga pengertian, yaitu:
- pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis;
- pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efekefek tertentu;
- keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.
Dalam goresan pena ini pengertian gaya bahasa yaitu cara memakai bahasa dalam konteks tertentu, oleh orang tertentu, untuk tujuan tertentu. Sebenarnya, apakah fungsi penggunaan gaya bahasa?
Pertama-tama, jikalau dilihat dari fungsi bahasa, penggunaan gaya bahasa termasuk ke dalam fungsi puitik (Jakobson dalam Vanoye, 1971: halaman 59) yaitu menimbulkan pesan lebih berbobot. Pemakaian gaya bahasa yang sempurna (sesuai dengan waktu dan akseptor yang menjadi sasaran) sanggup menarik perhatian penerima. Sebaliknya, jikalau penggunaannya tidak tepat, maka penggunaan gaya bahasa akan sia-sia belaka, bahkan mengganggu pembaca. Misalnya apabila dalam novel sampaumur masa sekarang terdapat banyak gaya bahasa dari masa sebelum kemerdekaan, maka pesan tidak hingga dan novel sampaumur itu tidak akan disukai pembacanya. Pemakaian gaya bahasa juga sanggup menghidupkan apa yang dikemukakan dalam teks, lantaran gaya bahasa sanggup mengemukakan gagasan yang penuh makna dengan singkat.
2. Metode Penelitian Majas atau Gaya Bahasa
Selama ratusan tahun telah dilakukan penelitian ihwal hal ini. Berbagai pembagian terstruktur mengenai dikemukakan, tentu bukan tempatnya di sini diajukan pendapat para hebat yang simpang-siur itu. Sebagai dasar penentuan apa yang disebut majas, marilah kita lihat pendapat Ducrot dan Todorov dalam Dictionnaire encyclopédique des sciences du langage (1972) yang mengemukakan pembagian terstruktur mengenai tataran bahasa, yaitu:
a. tataran suara dan grafis (misalnya asonansi, aliterasi, dan lain-lain)
b. tataran sintaksis (misalnya inversi, kalimat tak pribadi yang bebas, dan lain-lain)
c. tataran semantik (metafora, metonimi, ironi, dan lain-lain)
Selanjutnya yang akan dibicarakan lebih lanjut di sini yaitu tataran yang ke tiga, yaitu tataran semantik. Gaya bahasa pada tataran ini biasa disebut majas. Dalam goresan pena ini, kata majas digunakan sesuai dengan apa yang dimaksud dengan trope (Perancis/Inggris) yaitu kata atau ungkapan yang digunakan dengan makna atau
kesan yang berbeda dari makna yang biasa digunakan. Berbagai perjuangan untuk menjelaskan majas telah dilakukan, namun tetap belum memadai. Masih banyak klarifikasi yang perlu dilakukan, baik secara linguistik, maupun dari aspek komunikasinya. Penelitian kecil ini merupakan suatu upaya pemahaman beberapa majas melalui proses pembentukannya.
Menurut Kerbrat-Orecchioni (1986: hal. 94), semua jenis makna yang mengandung implisit dalam konteks tertentu sanggup membentuk kehadiran majas. Menurut pendapatnya, majas hanya suatu masalah khusus dari fungsi implisit. Dalam majas, bentuk yang implisit bersifat denotatif dan bentuk yang menggantikannya bersifat konotatif.
Di sini tidak akan dikemukakan semua jenis majas, lantaran hal itu akan luas sekali, melainkan hanya akan ditampilkan beberapa macam majas yang sering digunakan. Majas sanggup diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Beberapa pakar, antara lain Moeliono dalam bukunya Kembara Bahasa (1979, halaman 175), telah mengemukakan pembagian terstruktur mengenai sebagai berikut:.
- Majas perbandingan,
- Majas pertentangan, dan
- Majas pertautan.
Masing-masing jenis majas ini, terdiri dari beberapa subjenis majas. Dalam goresan pena ini akan dikemukakan ketiga jenis majas dengan perhiasan jenis lain, yang ditemukan dalam penelitian. Majas-majas tersebut sanggup dijelaskan dengan aspek makna dan acuannya. Untuk klarifikasi hal ini, perlu diingat kembali segitiga semantik yang dikemukakan oleh Ogden & Richards (Palmer 1976: halaman 26) menurut teori penanda dan petanda yang telah dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1969: hal. 97-103).
Penanda dan petanda berada dalam lingkup bahasa. Penanda yaitu imaji akustik/bentuk bahasa dan petanda yaitu konsepnya. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat semena, menurut konvensi masyarakat pendukung bahasa. Jasa Ogden & Richards yaitu menambahkan unsur acuan, yang bahwasanya berada di luar ranah bahasa, berasal dari dunia pengalaman. Menurut pendapatnya tidak ada hubungan pribadi antara penanda dan acuannya (antara bahasa dan dunia), hubungan itu harus melalui konsep yang berada dalam pikiran manusia. Itulah sebabnya maka garis yang menghubungkan penanda dengan acuannya ditampilkan dengan garis terputus-putus. Hubungan makna akan dijadikan dasar pengelompokan majas.
Sebenarnya, dari beberapa goresan pena ihwal teori linguistik mengenai majas, pembicaraan ihwal majas selalu berkisar antara penanda dan petanda, tidak memasukkan unsur acuan. Meskipun demikian, beberapa pakar, antara lain Georges Lakoff dan Mark Johnson: (1980: hal. 35-37) menyinggung unsur contoh ini. Di sini disertakan unsur acuan, pertama lantaran unsur ini telah dimasukkan ke dalam segitiga semantik, dan kedua lantaran hal ini dituntut oleh perkembangan teori wacana. Sebelum dilakukan analisis, perlu dilihat kembali teori makna yang dikemukakan oleh Bloomfield.
Menurut Bloomfield (1976: hal. 149) ada dua macam makna, yaitu:
1. Makna Pusat (Central meaning)
Makna yang dimiliki suatu unsur bahasa dan digunakan untuk mengabstraksikan suatu benda/ peristiwa/gagasan yang berada di luar bahasa. Pemahaman atas makna ini tidak membutuhkan konteks. Selain itu sanggup dikemukakan bahwa penanda sanggup memiliki lebih dari satu acuan. Bila yang diacu yaitu contoh utama, dan dipahami sebagai makna denotatif, maka penanda itu mengaktifkan makna pusatnya ;
2. Makna Sampingan (Marginal meaning)
Di sini, penanda tidak mengacu pada contoh utamanya, melainkan mengacu pada referen (acuan) lain. Pemahamannya bersifat kono-tatif. Makna ini disebut juga makna metaforis atau makna yang telah dipindahkan (metaphoric or transferred meaning)
Contoh berikut mengemukakan kupu-kupu dengan makna pusatnya “Taman itu begitu indah, penuh bunga bungaan aneka warna dan kupu-kupu beterbangan kian kemari.” (kupu-kupu yaitu ‘serangga’, ‘berasal dari kepompong ulat’, ‘umumnya sayapnya berwarna cerah’).
Selanjutnya akan dikemukakan contoh yang mengemukakan kupu-kupu dengan makna sampingannya: “Sejak Marni menjadi kupu-kupu malam, gres kali itulah ada laki-laki yang tidak menghinanya.” Di sini, kata beragam kupu-kupu mengaktifkan makna sampingannya.: ‘terbang dari satu bunga ke bunga lainnya’ ‘menghisap sari bunga’.
Dalam kalimat metaforis di atas, Marni pindah dari satu laki-laki ke laki-laki lain untuk menghisap isi kantungnya. Dalam studi semantik telah dikenal bahwa setiap kata memiliki wilayah makna tertentu (Tutescu, 1979: halaman 84-87) yang terdiri dari sejumlah komponen makna, yaitu satuan makna terkecil. Apabila dua kata atau lebih disandingkan, maka ada kemungkinan bahwa ada sejumlah komponen makna yang sama dalam wilayah maknanya; dan niscaya ada komponen makna yang berbeda (Tutescu, I979: hal. 74-84) Pada dasarnya ada dua macam komponen makna:
a. komponen makna penyama
b. komponen makna pembeda.
Hal ini akan membantu uraian untuk memahami majas. Berikut ini akan dikemukakan pengelompokan majas menurut semantik. Dalam analisis selanjutnya, untuk menyederhanakan laporan penelitian ini, akan digunakan istilah kata untuk mengemukakan leksem atau morfem, baik morfem gramatikal maupun leksikal.
3. Pembahasan Majas
3.1. Majas menurut persamaan makna
3.1.1. Pengulangan makna secara keseluruhan Majas Repetisi
3.1.2. Pengulangan sebahagian makna Pleonasme
3.2. Majas menurut perbandingan makna
3.2.1. Simile (disebut juga perumpamaan atau perbandingan)
3.2.2. Metafora
3.2.2.1 Majas yang tercakup dalam metafora: Perbandingan insan dan bukan manusia.
3.2.2.1.1 Personifikasi
3.2.2.1.2 Depersonifikasi
3.2.2.2 Majas yang tercakup dalam metafora: Perbandingan unsur konkrit-abstrak
3.2.2.2.1 Perbandingan unsur konkrit dengan unsur konkrit lain.
3.2.2.2.2 Perbandingan unsur konkrit dengan unsur abstrak.
3.2.2.2.3 Perbandingan unsur aneh dengan unsur konkrit
3.2.2.2.4 Perbandingan unsur aneh dengan unsur aneh lain.
3.3. Majas menurut pada oposisi makna
3.3.1. Antitese
3.3.2. Paradoks
3.3.3. Ironi
3.4. Majas menurut pertautan makna berkat kedekatan acuan
3.4.1 Metonimia
3.4.2 Sinekdoke
3.4.2.1 Sinekdoke Sebagian untuk keseluruhan
3.4.2.2 Sinekdoke Keseluruhan untuk sebagian
3.5. Majas yang mengambil bentuk majas lain
3.5.1 Hiperbola
3.5.2 Litotes
3.5.3. Eufemisme
4. Kesimpulan
Demikianlah beberapa majas yang sanggup ditampilkan. Masih banyak majas lainnya yang masih belum menerima klarifikasi linguistik, namun pembahasan akan menjadi terlalu luas. Dari hasil penelitian kecil ini, sanggup ditemukan 5 pengelompokan majas, yaitu majas yang menurut persamaan makna, perbandingan makna, oposisi makna, pertautan makna berkat kedekatan acuan, dan majas yang memakai banyak sekali bentuk, antara lain mengambil bentuk dari majas lainnya.
Daftar Pustaka
Bloomfield, L. 1969. Language. George Allen & Unwin Ltd. London. pp. 149
Ducrot, O. & T. Todov. 1972. Dictionnaire encyclopédique des sciences dulangage. Seuil, Paris.
Galisson, R. & D. Coste, 1976. Dictionnaire de Didactique des Langues. Hachette, Paris.
Orrecchioni, K. 1986. La Connotation. Presse Universitaire de Lyon, Lyon. pp. 94-156.
Kridalaksana, H. 1982. Kamus Linguistik. Gramedia, Jakarta. pp. 49-50.
Lakoff, G. & M. Johnson. 1980. Metaphors we live by. The University of Chicago Press, Chicago. pp. 35-37.
Moeliono, A. M. 1989. Kembara Bahasa. Gramedia, Jakarta: pp. 173-179
Palmer. 1976. Semantics. Cambridge University Press, Cambridge. pp. 26.
Perrine, L. & Arp, T. R. 1984. Sound and Sense. Harcourt Brace Colledge, Orlando. pp. 100.
Saussure, F. 1969. Cours de Linguistique Générale. Payot, Paris. pp. 97-103.
Todorov, T.. 1970. « Synecdoques » dalam Communication. No 16. Seuil, Paris. pp. 29.
Tutescu, M.. 1979. Précis Sémantique. Klinsieck, Paris. pp. 74-102
Vanoye, F. 1971. Expression Communication. Armand Collin, Paris. pp.59.
Zaimar, O. K. S. 2002. Majas dan Pembentuknya. Makara. Sosial Humaniora, 6 (2) : pp. 45-57.
Zaimar, O. K. S. 2002. Majas dan Pembentuknya. Makara. Sosial Humaniora, 6 (2) : pp. 45-57.
nice post.
ReplyDeleteFortissio