Pintar Pelajaran Kerajaan Majapahit : Sejarah, Peninggalan, Raja, Prasasti, Perkembangan, Sistem Politik, Militer, Ketatanegaraan, Runtuhnya, Kemunduran
Artikel dan Makalah perihal Kerajaan Majapahit : Sejarah, Peninggalan, Raja, Prasasti, Perkembangan, Sistem Politik, Militer, Ketatanegaraan, Runtuhnya, Kemunduran - Kerajaan Hindu-Buddha yang terakhir dan terbesar di Jawa ialah Majapahit. Kerajaan ini terletak di sekitar Sungai Brantas, dengan sentra di hutan Tarik di Desa Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya, menantu Kertanegara, sekitar tahun 1293 M. Setelah berhasil lolos dari janjkematian penyerangan Kediri, ia bersama para darah biru Singasari lain yang setia menyerupai Nambi, Lembu Sora, Ronggo Lawe, dan Kebo Anabrang, kemudian meminta sumbangan kepada Arya Wiraraja, yang sebelumnya ialah pejabat Singasari yang oleh Kertanegara dijadikan bupati di Sumenep, Madura. Atas proposal Aria Wiraraja, Bupati Sumenep, Wijaya disarankan menyerahkan diri kepada Jayakatwang. Atas jaminan Wiraraja pula Wijaya diterima di Kediri.
Baca Juga :
Baca Juga :
Raden Wijaya oleh Jayakatwang diperbolehkan membuka sebuah hutan untuk dijadikan desa baru, yakni Tarik. Setelah dibuka, hutan ini disulap menjadi desa tempat membinan kekuatan militer oleh Wijaya guna membalas dendam terhadap Kediri. Kemudian hutan Tarik ini dinamai Majapahit. Sejarah Majapahit ini sanggup diketahui dari Pararaton dan Sutasoma karangan Mpu Tantular, Negarakretagama karangan Prapanca, informasi Cina Ying-Yai Sheng Lan, serta Prasasti Kudadu.
Dua tahun sesudah pemberian hutan Tarik kepada Wijaya dan kawan-kawan, datanglah tentara Kubilai Khan dari Mongolia yang mendarat di Tuban dan Surabaya. Kedatangan tentara Kubilai Khan ke Jawa ini bertujuan untuk menghukum Kertanegara, raja Singasari, yang telah memotong indera pendengaran utusannya. Kedatangan tentara Kubilai Khan ini memberi kesempatan kepada Raden Wijaya untuk merebut kekuasaan dari Jayakatwang.
Melalui tipu muslihat yang cerdik, Wijaya kemudian mengajak pasukan Mongol yang gres mendarat di Tuban. Pasukan Mongol yang tak tahu bahwa Kertanegara telah tiada, dengan gampang diliciki oleh Wijaya bahwa Kediri seakan-akan ialah Singasari dan Jayakatwang ialah Kertanegara. Pasukan Mongol mempercayai saja ucapan Wijaya. Lalu terjadilah insiden yang dibutuhkan oleh Wijaya: pasukan Mongol kemudian menyerang Kediri dan merebutnya. Pasukan Wijaya pun bergabung dengan tentara Kubilai Khan dalam menghancurkan Kediri dan Jayakatwang.
Dalam penyerangan ini Jayakatwang tewas terbunuh. Raden Wijaya kemudian berbalik menyerang pasukan Kubilai Khan. Ia berhasil mengusir tentara Kubilai Khan ini kembali ke negerinya. Raden Wijaya kemudian mendirikan kerajaan gres yang diberi nama Majapahit.
Raja-raja yang memerintah Majapahit di antaranya: Raden Wijaya (1293−1309), Sri Jayanegara (1309−1328), Tribhuwanatunggadewi (1328−1350), Hayam Wuruk (1350−1389), dan Wikramawardhana (1389−1429). Raden Wijaya naik tahta pada tahun 1293 M. Raden Wijaya bergelar Kertajasa Jayawardhana. Gelar Kertarajasa digunakan sebab Raden Wijaya masih keturunan Ken Arok. Raden Wijaya mengawini keempat putri Kertanegara yaitu Tribhuwana, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri (Rajapatni). Selain keempat putri Kertanegara, Wijaya juga mengawini Dara Petak, putri boyongan dari Melayu.
Raden Wijaya memerintah dengan bijaksana sehingga keadaan kerajaan menjadi kondusif dan tenteram. Raden Wijaya tidak lupa atas jasa para pembantunya yang telah ikut mendirikan Majapahit. Aria Wiraraja diberi kedudukan sebagai penasihat. Ia berkedudukan di tempat Lumajang dan Blambangan. Nambi diangkat menjadi Rakyan Mapatih. Lembu Sora diangkat sebagai patih di Daha. Kebo Anabrang diangkat sebagai panglima perang Kerajaan Majapahit. Sementara Ranggalawe diangkat sebagai menteri perkembangan Majapahit.
Pada masa Raden Wijaya sempat terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh sahabat-sahabat erat raja yang merasa tidak puas dengan jabatannya, di antaranya oleh Lembu Sora, Nambi, dan Ranggalawe. Namun pemberontakan-pemberontakan ini karenanya sanggup dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 dan dimakamkan di Candi Simping di Blitar sebagai Siwa dan Wisnu serta di Antapura sebagai Budha.
Sepeninggal Raden Wijaya pemerintahan di pegang oleh puteranya yang berjulukan Kala Gemet yang bergelar Sri Jayanegara. Tidak menyerupai ayahnya, Jayanegara dikenal sebagai raja yang tidak bijaksana dan lebih suka bersenang-senang. Oleh sebab itu, banyak pembantunya merasa tidak puas dan melaksanakan pemberontakan, di antaranya pemberontakan yang dilakukan Juru Demung (1313), Wandana dan Wagal (1314), Nambi (1316), Semi (1318), dan Kuti (1319). Di antara pemberontakan tersebut, yang dianggap paling berbahaya ialah pemberontakan Kuti. Pada ketika itu, pasukan Kuti berhasil menduduki ibu kota negara. Jayanegara terpaksa menyingkir ke Desa Badander di bawah proteksi pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada. Gajah Mada kemudian menyusun taktik dan berhasil menghancurkan pasukan Kuti. Atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat sebagai patih Kahuripan (1319−1321) dan patih Kediri (1322− 1330).
Pada 1328, Jayanegara meninggal. Abu jenazahnya dimakamkan di Sela Petak dan di Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha Amoghsidi. Jayanegara tidak mempunyai anak. Oleh sebab itu, kekuasaan Majapahit diberikan kepada Gayatri, putri Kertanegara dan janda Raden Wijaya yang masih hidup. Namun sebab lebih menentukan sebagai biksuni, tahta kemudian diserahkan kepada putri Gayatri, Tribhuwanatunggadewi. Tribhuwanatunggadewi memerintah Majapahit bersama suaminya yang berjulukan Kertawardhana. Menurut Negarakertagama disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi ini sering terjadi pemberontakan. Di antaranya: pemberontakan Sadeng dan Kuti tahun 1331. Pemberontakan itu sanggup dipadamkan oleh Gajah Mada. Berkat jasanya, Gajah Mada kemudian diangkat menjadi mahapatih di Majapahit menggantikan Arya Tadah. Dalam upacara peresmian sebagai mahapatih, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya: tidak akan berhenti sebelum berhasil menyatukan Nusantara di bawah panjipanji Majapahit. Sumpah ini dikenal dengan “Sumpah Amukti Palapa”. Untuk mewujudkan cita-citanya ini, Gajah Mada membangun armada bahari yang berpengaruh di bawah pimpinan Laksamana Nala.
Pada 1343, dengan sumbangan Adityawarman, Gajah Mada berhasil menaklukan Bali. Adityawarman kemudian diangkat sebagai penguasa Melayu. Selanjutnya, pasukan Gajah Mada menguasai Sriwijaya, Tumasik, dan semenanjung Melayu di wilayah barat. Seram, Guam, dan Dompu di wilayah timur juga berhasil dikuasainya.
Pada 1350, Tribhuwanatunggadewi turun tahta dan digantikan oleh putranya yang berjulukan Hayam Wuruk. Ketika itu, Hayam Wuruk berusia 16 tahun. Ia didampingi Gajah Mada sebagai Mahapatih. Hayam Wuruk bergelar Rajasa Negara. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai masa kejayaannya. Dalam Negarakretagama dijelaskan bahwa pada masa Hayam Wuruk, wilayah Majapahit mencakup seluruh Nusantara bahkan hingga ke Tumasik (Singapura) dan Semenanjung Malaya. Daerah yang belum sanggup dikuasai Majapahit ialah Pajajaran.
Pada 1364, Gajah Mada wafat sesudah mengabdikan diri lebih dari 30 tahun di Majapahit. Pada 1389, Hayam Wuruk juga wafat. Sepeninggal Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Majapahit berangsur-angsur mengalami kemunduran. Hayam Wuruk tidak mempunyai putra mahkota dari permaisuri. Oleh sebab itu, putrinya yang berjulukan Kusumawardhani diangkat sebagai penguasa Majapahit bersama suaminya yang berjulukan Wikramawardhana. Sebenarnya Hayam Wuruk mempunyai seorang putra yang berjulukan Bhre Wirabhumi dari selirnya. Untuk menghindari pertikaian, Bhre Wirabhumi diberi kekuasaan di tempat Blambangan, ujung timur di Pulau Jawa.
Setelah Hayam Wuruk meninggal, terjadi perang saudara antara kedua anak Hayam Wuruk ini. Pengangkatan Kusumawardhani sebagai penguasa Majapahit tidak disenangi Bhre Wirabhumi. Rasa tidak bahagia ini kemudian bermetamorfosis perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg (1401−1406). Dalam Perang Paregreg ini Bhre Wirabhumi terbunuh. Perang berkepanjangan ini menciptakan Majapahit menjadi semakin lemah. Biaya perang serta jumlah korban yang demikian besar menciptakan Majapahit tidak sanggup mempertahankan keutuhan wilayah. Akhirnya, sesudah Wikramawardhana meninggal, Kerajaan Majapahit pecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Raja-rajanya antara lain: Suhita (1429−1447), Kertawijaya (1447−1451), Rajasawardhana (1451−1453), Purwa Wisesa (1451− 1466), Sunghawikrama Wardhana (1466−1447). Keruntuhan Majapahit diketahui dari Candrasengkala yang berbunyi Sirno Ilang Kertaning Bumi I yang berarti tahun 1400 Saka atau 1478 M.
Di samping perang saudara yang berkepanjangan, penyebab lain keruntuhan Majapahit ialah semakin berkembangnya dampak Islam di Nusantara, terutama di daerah-daerah pantai Jawa, menyerupai Gresik, Giri, dan Demak. Daerah-daerah ini kemudian melepaskan diri dari Majapahit. Keadaan ekonomi Majapahit yang buruj pun turut menjadikan keruntuhan Majapahit. Pemerintah sentra mengalami kesulitan untuk mengurus wilayah kekuasaannya yang demikian luas. Oleh sebab itu, banyak tempat yang kemudian tidak terurus dan menyatakan melepaskan diri dari Majapahit.
Akan tetapi, adapula pendapat bahwa Majapahit (yang kekuasaannya tinggal seluas ibukotanya sendiri) benar-benar runtuh sesudah ibukota kerajaan tersebut diserang oleh sejumlah santri-santri muslim dari Kudus yang dibantu oleh Raden Patah dari Demak. Mereka ingin menghancurkan kerajaan non-Islam pada 1527 M. Ibukota Majapahit tersebut oleh Tome Pires ditulis Dayo. Patah merupakan anak Raja Majapahit terakhir Brawijaya V dari selir yang berasal dari Campa, Cina potongan selatan (Vietnam).
Pada masa Majapahit, sistem ketatanegaraan telah terstruktur dengan baik. Raja dianggap sebagai penjelmaan yang kuasa di dunia dan ia memegang kekuasaan tertinggi. Dalam melaksanakan pemerintahan raja dibantu oleh Dewa Sapta Prabu yang bertugas memperlihatkan pertimbangan-pertimbangan kepada raja. Anggota yang kuasa sapta prabu ialah para sanak saudara raja. Urusan keagamaan diurus oleh dharma dyaksa, yaitu dharmadyaksa ring kasiwan untuk urusan agama Hindu dan dharmadhyaksa ring kasogatan untuk urusan agama Budha.
Anda kini sudah mengetahui Kerajaan Majapahit. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.
Anda kini sudah mengetahui Kerajaan Majapahit. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.
0 Response to "Pintar Pelajaran Kerajaan Majapahit : Sejarah, Peninggalan, Raja, Prasasti, Perkembangan, Sistem Politik, Militer, Ketatanegaraan, Runtuhnya, Kemunduran"
Post a Comment